Minggu, 25 November 2012

ANTI KONVULSI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada kondisi normal sinyal-sinyal elektrik yang berjalan di sepanjang sel-sel syaraf di otak secara normal terkoordinir dengan baik dalam menghasilkan gerakan-gerakan tertentu. Pada keadaan tertentu sinyal-sinyal elektrik  tersebut dapat secara tiba-tiba melonjak dan tak terkontrol lagi sehingga muncul gerakan-gerakan ritmis yang tak terkendali bahkan hingga kejang (konvulsi).
 Penyebab terbesar terjadinya kejang adalah suatu penyakit yang dinamakan EPILEPSI. Dikatakan EPILEPSI bila kejang terjadi secara berkala dan dalam jangka waktu yang lama. Sekitar 20 – 40 juta orang menderita epilepsi, umumnya dialami oleh anak-anak sebelum masa pubertas
Epilepsi (Yunani = Serangan tiba-tiba),Hughlings Jackson, adalah penemu pertama yang mendefinisikan konsep modern tentang epilepsi sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Ia mendefinisikan epilepsi sebagai suatu eposode gangguan sistem syaraf dimana terjadi kenaikan yang tiba-tiba pada potensial listrik di sekelompok neuron di otak.
Definisi saat ini “Gangguan syaraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala akibat aksi serentak dan mendadak dari sekelompok besar sel-sel syaraf di otak . Aksi ini disertai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron”.Serangan kejang (konvulsi) pada penderita epilepsi dapat dipicu oleh keadaan hipoglikemi, eclamsia, meningitis, encefalitis, trauma otak, atau adanya tumor di otak. Beberapa obat seperti klorpromazin, alkohol, dan MAO inhibitor dilaporkan juga memiliki ESO demikian. Obat-obat antikonvulsi bekerja menstabilkan sinyal-sinyal listrik di otak.
B.     TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian obat anti konvulsi.
2.      Untuk mengetahui mekanisme kerja obat anti konvulsi.
3.      Untuk mengetahui efek samping obat anti konvulsi dan cara mengatasinya.
4.      Untuk mengetahui contoh obat anti konvulsi.
C.    RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian obat anti konvulsi ?
2.      Bagaimana mekanisme kerja obat anti konvulsi ?
3.      Bagaimana efek samping obat anti konvulsi dan cara mengatasinya ?
4.      Apa contoh obat anti konvulsi ?















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Anti Konvulsi
Anti Konvulsi merupakan golongan obat yang identik dan sering hanya digunakan pada kasus- kasus kejang karena Epileptik. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan ANTI EPILEPSI, sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut Bangkitan atau Seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (Konvulsi), hiperaktifitas otonomik, gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG obsormal dan eksesif.  Berdasarkan gambaran EEG, apilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat paroksimal.
B.     MEKANISME KERJA
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu :
1.      Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif
pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi.
2.       Dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada
neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi
.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.




C.    EFEK SAMPING DAN CARA MENGATASINYA
        Efek samping obat anti konvulsi:
a.       Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
b.      Tenang
c.       Ruam kulit
d.      Pembengkakan gusi 
e.       Penambahan berat badan, rambut rontok  
Cara Mengatasi efek samping obat Anti konvulsi:
1.       Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lain dari benda keras, tajam atau panas.
2.       Longgarakan pakaian, bila mungkin miringkan kepala kesamping untuk mencegah sumbatan jalan nafas.
3.      Biarkan kejang berlangsung, jangan memasukkan benda keras diantara gigi karena dapat mengakibatkan gigi patah.
4.      Biarkan istirahat setelah kejang, karena penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang.
5.       laporkan adanya serangan pada kerabat dekat penderita epilepsy ( penting untuk pemberian pengobatan dari dokter ).
6.      Bila serangan berulang dalam waktu singkat atau mengalami luka berat, segera larikan ke rumah sakit.
D.    CONTOH OBAT
Beberapa Obat Golongan Antikonvulsi/ Antiepilepsi
a.       Golongan Hidantoin
Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin, dari ketiga jenis itu yang tersering digunakan adalan Fenitoin dan digunakan untuk semua jenis bangkitan, kecuali bangkitan Lena.Fenitoin merupakan antikonvulsi tanpa efek depresi umum SSP, sifat antikonvulsinya penghambatan penjalaran rangsang dari focus ke bagian lain di otak.
b.      Golongan Barbiturat
Golongan obat ini sebagai hipnotik- sedative dan efektif sebagai antikonvulsi, yang sering digunakan adalah barbiturate kerja lama ( Long Acting Barbiturates ).Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat menekan letupan di focus epilepsy.
c.        Golongan Oksazolidindion
Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek memperkuat depresi pascatransmisi, sehingga transmisi impuls berurutan dihambat , trimetadion juga dalam sediaan oral mudah diabsorpsi dari saluran cerna dan didistribusikan ke berbagai cairan tubuh.
d.      Golongan Suksinimid
Yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid diabsorpsi lengkap melalui saluran cerna, distribusi lengkap keseluruh jaringan dan kadar cairan liquor sama dengan kadar plasma. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena.
e.       Golongan Karbamazepin
Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi semua bangkitan kecuali lena.
Karbamazepin merupakan efek analgesic selektif terutama pada kasus neuropati dan tabes dorsalis, namun mempunyai efek samping bila digunakan dalam jangka lama, yaitu pusing, vertigo, ataksia, dan diplopia.
f.        Golongan Benzodiazepin
Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping senagai anti konvulsi juga mempunyai efek antiensietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Anti konvulsi adalah obat yang di gunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi<epilec seizure>.Bangkitan ini biasa di sertai kejang{konvulsi}.hiperaktivitas otonom,gangguan sensoris atau psikis.O bat anti konvulsi di sebut juga obat anti-epilepsi.Epilepsi{berasal dari bahasa Yunani berarti Kejang}atau di indonesia di kenal dngan penyakit ayan.Ayan adalah penyakit yang menyerang saraf sehinggaa fungsi saraf terganggu yang timbul secara tiba-tiba dan berkala,biasa nya di sertai perubahan kesadaran.penyebab utama dari epilepsi adalah akibat adanya muatan listrik yang cepat.
B.     Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan saran-saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan kualitas dalam pemberian obat anti diuretik guna menunjang peningkatan kualitas kesehatan ibu sehingga dapat menjadi literature guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan ibu.















DAFTAR PUSTAKA
·         Wikipedia Indonesia
·         www.catatanfarmakologi.com















Senin, 19 November 2012

asfiksia neonatorum

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Dua pertiga dari yang meninggal pada bulan pertama meninggal pada minggu pertama. Dua pertiga dari yang meninggal pada minggu pertama, meninggal pada hari pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. Kurang lebih 99% kematian ini terjadi di negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pengenalan dini dan pengobatan yang tepat.
Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh sebab itu, asfiksia memerlukan intervensi dan resusitasi segera untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas. Survei atas 127 institusi pada 16 negara—baik negara maju ataupun berkembang—menunjukkan bahwa sarana resusitasi dasar seringkali tidak tersedia, dan tenaga kesehatan kurang terampil dalam resusitasi bayi. Sebuah penelitian di 8 negara.

B.     Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini :
1.      Untuk mengetahui pengertian asfiksia neonatorum.
2.      Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi asfiksia neonatorum.
3.      Untuk mengetahui tanda dan gejala asfiksia neonatorum.
4.      Untuk mengetahui komplikasi dan pencegahan serta penanganan asfiksia neonatorum.
C.    Rumusan masalah
1.      Apakah pengertian asfiksia neonatorum ?
2.      Apakah etiologi dan patofisiologi asfiksia neonatorum ?
3.      Apakah tanda dan gejala asfiksia neonatorum ?
4.      Apakah komplikasi dan bagaimana pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967). Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin (Gabriel Duc, 1971). Penilaian statistic dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.
Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir (James, 1958). Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir (James, 1959). Penyelidikan patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus  pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisis dan mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan tersebut diatas, perlu dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan rasionil sesuai dengan perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.
            Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.
B.     Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir.
Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :
1.      Faktor ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan ; gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.
2.       Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.
3.      Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4.      Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena ; pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan,hipoplasia paru dan lain-lain.
C.    Patofisiologi
Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam pertukaran gas oleh karena plasenta menyediakan  oksigen dan mengangkat CO2 keluar dari tubuh janin. Pada keadaan ini paru janin tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh karena konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.
Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap tertutup sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.

Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari vasokonstriksi dan penurunan perfusi pru yang berlanjut dengan asfiksia, pada awalnya akan terjadi konstriksi Arteriol pada usus, ginjal, otot dan kulit sehingga penyediaan Oksigen untuk organ vital seperti jantung dan otak akan meningkat. Apabila askfisia berlanjut maka terjadi gangguan pada fungsi miokard dan cardiac output. Sehingga terjadi penurunan penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini akan mulai terjadi suatu “Hypoxic Ischemic Enchephalopathy (HIE) yang akan memberikan gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi baru lahir. HIE ini pada bayi baru lahir akan terjadi secara cepat dalam waktu 1-2 jam, bila tidak diatasi secara cepat dan tepat (Aliyah Anna, 1997).
D.    Tanda dan gejala klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
1.      Hilang sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2.      Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
3.      Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan.
Gejala klinis
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.
Gejala lanjut pada asfiksia :
1.      Pernafasan megap-magap dalam
2.      Denyut jantung terus menurun
3.      Tekanan darah mulai menurun
4.      Bayi terlihat lemas (flaccid)
5.      Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)
6.      Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)
7.      Menurunnya PH (akibat acidosis respiratorik dan metabolik)
8.      Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob
9.      Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular
10.   Pernafasan terganggu
11.   Detik jantung berkurang
12.   Reflek / respon bayi melemah
13.  Tonus otot menurun
14.  Warna kulit biru atau pucat
E.     Kemungkinan komplikasi yang muncul
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
a.       Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
b.      Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
c.       Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
d.      Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

F.     Pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :
a)    Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan
b)    Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum.
c)    Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
d)    Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.
e)    Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.
f)     Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan persalinan.
g)    Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
§  Persalinan yang bersih dan aman
§   Stabilisasi suhu
§   Inisiasi pernapasan spontan
§   Inisiasi menyusu dini
§   Pencegahan infeksi serta  pemberian imunisasi
Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
- Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
- Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
- Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
- Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
- Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
- Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
- Kompresi dada.
- Pengobatan






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitative.
B.     Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan saran-saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan kualitas dalam pemberian obat anti diuretik guna menunjang peningkatan kualitas kesehatan ibu sehingga dapat menjadi literature guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan ibu.









DAFTAR PUSTAKA
 Allen Carol Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan,  EGC : Jakarta
Aminullah Asril,1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.
Aliyah Anna, dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi Indonesia (Perinasia):Jakarta